Sejarah Lengkap Perjanjian Renville

Sejarah Lengkap Perjanjian Renville - Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan ini diwakili oleh kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi Indonesia adalah Mr. Amir Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda adalah R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Pada dasarnya perundingan ini dilaksanakan atas usul dewan PBB dan KTN (Komisi Tiga Negara) yang menginginkan upaya perdamaian dan menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda yang seringkali mengalami pertikaian. Di mana penyebab awal serangkaian pertikaian ini disebabkan karena Belanda enggan untuk mengakui kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Namun latar belakang dilaksanakannya perundingan Renville tidak akan terlepas dari adanya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, di mana peristiwa ini seringkali disebut sebagai “Agresi Militer Belanda Pertama” yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville
Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu peristiwa berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di mana penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia), di luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India dan Australia di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan. Akhirnya Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua belah pihak untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut, Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia dan Belanda mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang pertama. Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25 Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). (Sudharmono, 1981: 152). Di mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham. Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.  Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948. Jadi, jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sebelum diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya perundingan “baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang mana pada akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap Indonesia (Agresi Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa yang baik bagi keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
  1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.
  2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi . Perundingan-perundingan terus dilakukan sehingga sampai akhirnya tercapai suatu persetujuan yang dikenal sebagai “Perjanjian Renville”. Namun meskipun sudah tercapai persetujuan diatas kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Jadi disini dapat dikatakan bahwa Belanda tetap menyerang Indonesia walaupun dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Pada akhirnya tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah geriliya ke Yogyakarta. Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
  1. 10 pasal persetujuan gencatan senjata
  2. 12 pasal prinsip politik
  3. 6 pasal prinsip tambahan dari KTN

Isi Perjanjian Renville:
  • Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
  • Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  • TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Orang-orang yang Berperan di dalam Perundingan Renville
Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang dapat memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa dalam masalah militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik KTN hanya memberikan usul.
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.
Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pasca perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar a.l. Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia  mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda dengan ketat. Persetujuan menimbulkan reaksi keras di kalangan Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.
Jalannya Perundingan Renville dan Hasil Akhir Perundingan Renville
Perundingan Renville merupakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda yang dilakukan setelah Agresi Militer Belanda I. Perundingan Renville berlangsung selama hampir satu bulan. Setelah itu adanya KTN yang menjadi penengah pada perundingan tersebut. Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut yang diwakili oleh Richard Kirby dari Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank Graham dari Amerika Serikat, sedangkan Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin sementara belanda diketuai oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Hasil dari perundingan Renville ini, antara lain sebagai berikut :
  • Penghentian tembak menembak
  • Daerah-daerah di belakang garis Van Mook harus dikosongkan dari pasukan Republik Indonesia
  • Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu
  • Dalam Uni Indonesia Benlanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan Belanda
  • Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS
  • Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantong gerilya harus ditarik ke daerah Republik Indonesia.
Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun kerugian yang diderita oleh Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville ini adalalah sebagai berikut, diantaranya :
  1.  Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalui masa peralihan
  2. Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaan karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda
  3. Pihak Republik Indonesia harus menarik seluruh pasukannya yang berada di daerah kekuasaan Belanda dan Kantong-kantong Gerilya masuk ke daerah Republik Indonesia.
Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
  • Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda
  • Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda
  • Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda
  • Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan
Dalam Usaha memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Belanda membentuk Negara-negara boneka, seperti : Negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Hasil Akhir Perundingan Renville
  1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon Pedia). Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas wilayah kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer Belanda I (Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur.
  2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.
  3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
  4. Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.
  5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
  6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh Belanda.
  7. Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani. (Eryadi). 
Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close